Home > Sejarah

Memori Piala Thomas-Uber 1994 (2): Pembuktian Hermawan Susanto dan Mia Audina di Tunggal Keempat

Menjelang hari-hari terakhir pengumuman nama-nama tim inti Piala Uber Indonesia, bahkan masih sulit untuk meraba apakah nama Mia tercantum atau tidak.
Piala Thomas dan Piala Uber (kanan). (Foto: BWF)
Piala Thomas dan Piala Uber (kanan). (Foto: BWF)

Tak ada yang paling berkesan bagi Hermawan Susanto, ketika namanya diumumkan sebagai tunggal keempat tim Piala Thomas Indonesia 1994, kecuali mengingat-ingat lagi ucapan orang tuanya, Agus Sutanto dan Megah Idawati, serta kekasih tercinta yang kemudian menjadi istrinya Sarwendah Kusumawardhani. Merekalah, yang banyak memberi dorongan padanya untuk terus berjuang bisa masuk tim Thomas Indonesia.

''Saya jadi tambah bersemangat untuk bisa mengalahkan para pesaing saya untuk mengambil posisi tunggal keempat itu,'' kata Aim --panggilan akrab Hermawan-- kepada saya, Kamis 5 Mei 1994 silam. ''Orang tua saya dan Endah lah yang menyemangati saya,'' lanjutnya.

Kala itu tim pelatih pelatnas PBSI belum menentukan siapa tunggal keempat Indonesia yang akan menyertai Joko Supriyanto, Hariyanto Arbi, dan Ardy B Wiranata. Pilihannya ada dua yakni Hermawan Susanto dan Alan Budikusuma. Akhirnya dengan pertimbangan prestasi terakhir, Aim yang terpilih.

Bagi Aim, bisa masuk dalam tim inti Piala Thomas memang cita-citanya sejak meniti karier di dunia bulu tangkis. Menurutnya, tampil membela Tanah Air dalam event beregu dunia ini lebih berkesan dibanding tampil untuk nomor-nomor individu. ''Walaupun cuma menjadi tunggal keempat, tapi rasanya senang. Apalagi kalau tim kita bisa juara, berfoto dengan rekan-rekan bersama piala tersebut bukan main gembiranya,'' katanya.

Maka menjelang All England, Maret 1994, keinginannya untuk masuk dalam tim inti Piala Thomas Indonesia makin menggebu-gebu. Saat itulah, ia utarakan keinginannya itu pada kedua orang tuanya dan juga Sarwendah. ''Waktu mau berangkat ke All England mereka memberi dorongan kepada saya agar tampil sebaik-baiknya. Sebab, All England merupakan arena terakhir sebagai tempat seleksi untuk masuk tim,'' cerita Aim.

Tak pelak, bagi Aim pun dorongan dari orang tua dan kekasihnya menjadi cambuk dalam setiap penampilannya di arena All England. Setiap kali bertanding di National Indoor Arena, Birmingham, Aim kerap teringat akan semangat yang dibekali orang-orang tercintanya itu. Upayanya memang tidak sia-sia. Anak pertama dari dua bersaudara ini bisa mencapai semifinal sebelum tumbang di tangan rekan sepelatnasnya Ardy B Wiranata.

Setelah masuk dalam tim inti, Aim berniat ''membayar'' dorongan yang diberikan oleh orang tua serta kekasihnya. Caranya? ''Saya akan membuktikan pada mereka bahwa saya memang pantas masuk dalam tim sekarang ini. Jika diturunkan, saya bertekad untuk menyumbangkan poin bagi Indonesia. Ini sudah tekad saya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi,'' ujar peraih medali perunggu Olimpiade Barcelona ini.

Kecuali ingin ''membayar'' dorongan yang diberikan oleh orang-orang yang dicintainya itu, Aim juga tak lupa dengan pesan Liem Swie King. ''Om King seringkali memberi tahu saya, kalau saya sudah terpilih agar berjuang dengan sungguh-sungguh. Sekaranglah saatnya saya membuktikannya,'' ujar keponakan Liem Swie King ini.

Tahun 1994 adalah kesempatan yang kedua kalinya bagi Aim memperkuat tim Thomas Indonesia. Pertama kali adalah tahun 1998, ketika putaran final berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia. Waktu itu ia juga hanya sebagai tunggal keempat dan belum sekalipun dimainkan oleh kubu Indonesia.

''Kali ini mungkin saya diturunkan. Tapi nggak tahu saat melawan siapa. Pokoknya saya bertekad menyumbang poin jika saya diturunkan,'' kata Aim, ketika itu. Dan Aim membuktikannya dengan menyumbang poin ketika di semifinal turun pada partai kelima melawan Ahn Jae Chang, menutup kemenagan 4-1 Indonesia atas Korea Selatan.

Mia Audina (Foto: Dok. Republika)
Mia Audina (Foto: Dok. Republika)

Mia jadi penentu

Mia Audina Tjiptawan kerap diburu para wartawan pada sekitar akhir April 1994 silam. Ini setelah ia berhasil lolos sebagai tunggal keempat tim Piala Uber Indonesia. Dalam usianya yang tergolong muda, lahir di Jakarta 22 Agustus 1979, Mia memang menjadi perhatian tersendiri di kalangan para wartawan.

Kecuali menjadi pemain termuda (14 tahun delapan bulan) dalam sejarah tim Piala Uber Indonesia, kehadiran Mia dalam tim boleh jadi merupakan kejutan. Sebab, sebelumnya dia harus bersaing dengan para seniornya di pelatnas seperti Minarti Timur, Ika Henny, Yuliani Sentosa, dan Yuni Kartika. Akhirnya, Mia ikut lolos bersama Yuliani dan Yuni untuk mendampingi Susi Susanti di nomor tunggal.

Menjelang hari-hari terakhir pengumuman nama-nama tim inti Piala Uber Indonesia, bahkan masih sulit untuk meraba apakah namanya tercantum atau tidak. Yang tampak dalam ramalan, Mia dan Yuni bakal bersaing untuk mendapat tempat. Tapi, justru keduanya masuk dalam tim inti dan pemain senior Minarti Timur secara tak diduga gagal bergabung. ''Saya bangga bisa terpilih dalam tim inti Piala Uber. Sebab, ini merupakan kepercayaan yang diberikan kepada saya untuk membela bangsa,'' kata Mia dalam percakapan dengan saya, Kamis 28 April 1994. ''Saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa menyumbangkan poin bagi Indonesia jika saya diturunkan,'' tambahnya.

Sebagai pendatang baru, Mia memang belum memiliki prestasi yang spektakuler. Namun, sejak masuk pelatnas pada 1993, dua gelar junior sudah berhasil diboyongnya yakni Belanda Terbuka dan Jerman Terbuka. Setahun sebelumnya, Mia menempatkan dirinya sebagai semifinalis kejuaraan dunia junior di Jakarta

''Masih banyak yang harus saya pelajari,'' kata anak ketiga dari tiga bersaudara keluarga Rivan dan Lani Susilowati ketika itu. ''Di kejuaraan Piala Uber kali ini saya belum tahu akan diturunkan atau tidak. Tapi saya sudah siap seandainya diturunkan,'' kata Mia. Sebagai pemain muda, teknik yang dimiliki Mia sebenarnya tak kalah dengan para seniornya. Permainannya yang lincah dengan pukulan-pukulan kejutnya, mampu membuat lawannya pontang-panting. Hanya saja, dalam setiap pertandingannya dia sering terburu-buru untuk menghabisi lawannya. Hal ini justru menjadi bumerang buat Mia lantaran ia jadi banyak membuat kesalahan sendiri.

''Saya memang suka terburu nafsu untuk mengalahkan lawan secepatnnya,'' aku Mia. ''Kelemahan inilah yang terus saya perbaiki sekarang ini. Mudah-mudahan dalam pertandingan-pertandingan berikutnya saya sudah bisa menahan emosi itu. Saya coba untuk main tenang,'' ujar pebulu tangkis asal klub Jaya Raya ini. Menjadi pemain bulu tangkis sebenarnya bukan cita-cita Mia sejak kecil. Mia kecil waktu itu justru ingin menjadi dokter. ''Kakak saya menakut-takuti kalau jadi dokter nanti sering ketemu mayat. Saya akhirnya jadi takut, dan nggak mau jadi dokter lagi,'' kenang Mia.

Tapi, Mia yang kala itu tercatat sebagai siswa kelas dua SMP khusus atlet di bilangan Ragunan, Jakarta ini tak kecewa dengan profesi yang ditekuninya. ''Menjadi pemain bulu tangkis juga bisa mengabdi pada negara 'kan?'' tanya Mia.

Mia pun membuktikan pengabdiannya kepada negara. Turun di partai kelima yang menentukan saat skor imbang 2-2 melawan Cina, Mia menumbangkan Zhang Ning 11-7, 10-12, 1-4. Piala Uber kembali bermukim di Tanah Air setelah kali terakhir pada 1975.

× Image