Memori All England 1994 (Bagian 4): Suasana ‘Sakral’ Wembley Arena yang Telah Hilang
Ada sesuatu yang hilang dalam All England 1994. Suasana ''sakral'' yang biasa dirasakan para pebulu tangkis tak akan ada lagi di kejuaraan bulu tangkis tertua di dunia ini setelah perhelatan telah dialihkan dari Wembley Arena, London, menuju National Indoor Arena di Birmingham.
Pebulutangkis yang telah merasakan bermain di Wembley Arena, pasti merasakan suasana ''lain'' di tempat ini -- yang tak ditemui di turnamen manapun. Selain memiliki gengsi tersendiri, hampir semua pemain larut dalam suasana ''sakral'' khas Inggris yang membuat All England berbeda dengan turnamen lainnya.
Kesakralan itu tampak dari sikap disiplin, teratur, tertib, dan lancar yang melibatkan seluruh publik yang tumplek di tempat itu, termasuk para pemain sendiri. Suasana yang memancarkan wibawa khas kejuaraan inilah yang membuat para pemain memenemukan suasana ''lain'' saat berlaga di Wembley Arena.
“Suasana bertanding di Wembley Arena memang lain. Kita tak bisa menemukannya di tempat lain,'' kata Ardy B Wiranata kepada saya di Pusat Bulutangkis Indonesia, Cipayung, Jakarta Timur, di suatu sore tiga har I sebelum keberangkatan tim Indonesia ke Inggris. ''Saya tak bisa mengungkapkannya kenapa terasa beda. Tapi saya bisa merasakannya,'' tambahnya.
Meski tak tahu persis apa yang membuat kejuaraan ini menjadi ''lain'', Ardy memperkirakan karena Wembley Arena sudah menjadi tradisi lahirnya para juara. Jauh sebelum adanya kejuaraan dunia pertama kali diselenggarakan di Malmoe, Swedia, 1977, All England -- pertama kali diselenggarakan tahun 1899 -- memang menjadi tempat lahirnya para juara dunia. Dan sejak tahun 1957, Wembley Arena menjadi tempat lahirnya para juara itu.
Tradisi juara itu juga berlaku bagi pemain-pemain Indonesia. Di Wembley Arena inilah nama Indonesia mulai dikenal sebagai salah satu kekuatan bulu tangkis dunia. Kejayaan Indonesia ini dimulai dari Tan Joe Hok yang merebut gelar tunggal putra tahun 1959. Kemudian Rudy Hartono, Liem Swie King, Ardy, dan Hariyanto Arbi. Di nomor ganda putra, Wembley Arena tahun 1970-an juga dikuasai ganda Indonesia seperti Christian/Ade Chandra dan Tjun Tjun/Johan Wahyudi.
''Kelihatannya, karena sudah menjadi tradisi setiap tahunnya, maka All England khususnya Wembley Arena terasa beda dengan turnamen lainnya,'' kata Ardy. ''Tradisi seperti itulah yang rasanya membuat turnamen ini bergengsi,'' sambungnya.
Bagi Ardy sendiri, National Indoor Arena (NIA), Birmingham, sebetulnya bukan tempat asing lagi. Pada 1993 d ia juga tampil di tempat ini dalam Kejuaraan Dunia dan Piala Sudirman. Namun, menurut Ardy, dibanding Wembley Arena suasana di NIA Birmingham memang lain. Ia tidak merasakan suasana ''lain'' seperti kalau main di Wembley Arena.
''Wembley Arena lebih angker dibanding NIA di Birmingham. Mungkin karena penyelenggaraan di Wembley Arena sudah terbilang tua juga, sehingga kesan angker itu terasa,'' ungkap Ardy. Seringnya pemain-pemain tangguh tumbang oleh pemain yang tak diperhitungkan, merupakan salah satu alasan keangkeran Wembley Arena.
Tinggal kenangan
Wembley Arena sejak pertengahan Maret 1994, tak lagi semarak seperti tahun-tahun sebelumnya. Dulu, arena ini menjadi ajang perburuan gelar juara All England para pebulu tangkis dunia sejak lebih dari 47 tahun silam (saat 1994). Tak ada lagi tepuk-tangan ribuan penonton --termasuk salah satu anggota Kerajaan Inggris-- yang mengiringi kemenangan sang juara.
Wembley Arena tinggal kenangan. Suasana ramai itu berpindah ke Birmingham, kota industri di bagian tenggara Inggris. Di kota berpenduduk kurang dari 2 juta jiwa inilah (data tahun 1994), pada 14-19 Maret 1994 All England kali pertama digelar di luar kota London.
Sejak digelar untuk pertama kalinya tahun 1899, kejuaraan yang disebut-sebut sebagai kejuaran dunia tak resmi ini selalu berlangsung di London. Pada tahun itu kejuaraan dilangsungkan di London Scottish Rifles, Buckingham Gate. Dalam pentas perdananya ini, All England hanya mempertandingkan nomor ganda dan cuma berlangsung satu hari.
Tiga tahun kemudian, pentas All England dipindahkan ke Crystal Palace --masih dalam kawasan kota London. DI sini, penyelenggaraan kejuaraan juga mengalami beberapa perubahan. Lamanya kejuaraan, misalnya, dari satu hari menjadi tiga hari. Lalu, lapangan tak lagi hanya menggunakan satu lapangan saja, tapi enam.
Begitu pula, dengan nomor yang dipertandingkan. Tak lagi hanya mempertandingkan nomor ganda, tapi bertambah dengan nomor tunggal sejak 1901. Di tempat ini pula, nama kejuaraan yang sebelumnya ''The Badminton Association Tournament'' secara resmi berganti menjadi''The All England Badminton Championship'' dan digunakan sampai sekarang.
Namun pentas di Crystal Palace itu cuma berlangsung sekali saja. Tahun berikutnya, All England dipentaskan di The London Rifle Brigade HQ, Bunhill Row -- dekat Crystal Palace. Di Tempat ini pun cuma bertahan beberapa tahun. Tepat tahun 1910, penyelenggaraan dipindahkan ke Horticultural Hall, Vincent Square, Westminter.
Tiga puluh tahun bertahan di Horticultural Hall, pentas All England dipindahkan ke Harringay Arena. Di tempat inilah, pada 1949 kejuaraan secara resmi ''terbuka'' bagi pemain-pemain di luar kawasan Britania Raya.
Tahun 1950 kejuaraan dipindahkan ke Empire Hall hingga tahun 1956. Karena pemugaran, Empire Hall tak dapat digunakan untuk pementasan All England tahun 1957. Pihak penyelenggara akhirnya memilih Wembley Arena untuk kejuaraan ini, hingga tahun 1993 silam. Di Wembley Arena inilah nama Indonesia mulai diperhitungkan sebagai salah satu kekuatan bulu tangkis dunia.
Itu dimulai dengan tampilnya Tan Joe Hok sebagai orang Indonesia pertama yang memenangi kejuaraan ini tahun 1959. Kemudian diikuti oleh zaman keemasan Rudy Hartono, Cuncun/Johan Wahyudi, Christian/Ade Chandra, Liem Swie King, hingga era Ardy B Wiranata, Susi Susanti, dan Hariyanto Arbi yang mengukir nama mereka sebagai juara.
Arena yang menjadi saksi sejarah kejayaan para pebulu tangkis Indonesia itu pun akhirnya hanya bertahan sampai tahun 1993. Hariyanto Arbi dan Susy Susanti menjadi orang Indonesia terakhir yang berjaya di Wembley Arena.
Meski kesakralan Wembley Arena tak lagi ditemui di Birmingham, namun gengsi kejuaraan tak bisa dibantah. Juara All England delapan kali Rudy Hartono pun mengakuinya. ''All England memang memiliki gengsi tersendiri dibanding kejuaraan manapun,'' katanya kepada saya jelang kejuaraan All England 1994 silam.